Langit Senja dan Cahaya Ibu
Sebuah kisah magis tentang cinta yang tak pernah padam
Langit sore berwarna lembayung, menumpahkan cahaya lembut di halaman rumah tua yang kini terasa sunyi. Udara membawa aroma tanah basah dan melati—aroma yang dulu selalu memenuhi rumah saat Ibu Laras masih ada.
Di bangku kayu dekat jendela, Rian duduk diam. Ia menatap pot bunga biru yang perlahan mekar, lalu berbisik,
“Ibu… hari ini bunga birunya mekar lagi.”
Tak ada suara, hanya desir angin yang menyentuh rambutnya. Tapi di dalam hatinya, Rian merasa ada sesuatu yang hangat—seolah udara menyimpan rindu yang belum sempat diucap.
Saat matahari tenggelam di balik genteng, cahaya oranye menembus kaca jendela dan menari di dinding kamar. Embun di kaca berkilau aneh, memantulkan sinar keperakan yang perlahan membentuk sosok.
Rambut putih berkilau, langkah lembut, dan tatapan mata yang penuh kasih. Ibu Laras.
“Nak… aku di sini. Aku nggak pernah pergi.”
Rian tertegun. Air matanya hampir jatuh, tapi senyum lembut ibunya menahannya. Setiap langkah sang ibu meninggalkan jejak cahaya di rumput—seolah bumi pun menunduk memberi hormat pada cinta yang kembali.
“Tapi aku rindu, Bu… aku pengen ngerawat Ibu lagi.”
Sang ibu tersenyum, suaranya bagai denting cangkir di pagi hari.
“Cinta itu nggak mati, Nak… ia cuma berubah bentuk—jadi cahaya, jadi angin, jadi kekuatan di hatimu.”
Bunga-bunga biru di sekitar mereka bergetar pelan, cahaya menari di kelopak. Rian mengangkat tangannya, mencoba menyentuh cahaya itu, dan merasakan kehangatan yang menenangkan.
“Kalau begitu, aku akan terus menjaga cahaya ini, Bu,” bisik Rian.
“Begitulah caramu merawatku,” jawab ibunya, masih dengan senyum yang sama seperti dulu.
Cahaya di sekitar mereka semakin terang. Udara menjadi hangat, seperti pelukan. Sosok sang ibu perlahan larut ke dalam sinar senja, meninggalkan harum melati dan ketenangan yang tak bisa dijelaskan.
“Aku akan selalu di sini, Nak. Dalam setiap doa, dalam setiap langkahmu.”
Rian menatap langit. Satu bintang muncul lebih cepat dari biasanya—berkelip lembut, seperti senyum yang ia kenal sejak kecil. Ia duduk kembali di bangku kayu, memeluk pot bunga biru, dan berbisik,
“Terima kasih, Bu. Sekarang aku tahu… cinta nggak butuh tubuh untuk tetap hidup.”

